Fakultas Teknik Kampus Karangmalang, Yogyakarta, 55281
Bahasa Indonesia
English

Fenomena pembagian peran berdasarkan gender dalam dunia boga masih menjadi realitas yang tampak jelas hingga saat ini. Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan, ditemukan adanya pola yang cukup kuat: di ranah domestik, perempuan umumnya memegang peran utama dalam memasak, namun ketika masuk ke dapur profesional seperti di restoran, hotel, dan industri kuliner lainnya posisi strategis dan pekerjaan inti justru lebih banyak diisi oleh laki-laki.
Wawancara dengan seorang chef profesional yang telah berkecimpung sejak tahun 1999 menunjukkan bahwa ketimpangan ini dipengaruhi oleh faktor fisik, budaya kerja, serta persepsi industri. Dalam lingkungan dapur profesional yang menuntut tenaga ekstra dan ritme kerja yang sangat intens, pekerjaan berat seperti mengangkat peralatan besar, mengolah bahan dalam jumlah masif, dan mengoperasikan peralatan industri sering kali diberikan kepada laki-laki. Sementara itu, perempuan cenderung ditempatkan pada tugas yang dianggap lebih ringan seperti persiapan bahan, pemotongan, atau dekorasi makanan.
Chef tersebut menjelaskan bahwa pola pembagian kerja ini sudah berlangsung lama dan kerap dianggap sebagai “hal yang wajar”, meskipun kenyataannya menimbulkan batasan bagi perempuan untuk berkembang di sektor kuliner profesional. Ia juga menambahkan bahwa tidak sedikit perempuan yang berhasil menembus posisi penting sebagai chef, namun jumlahnya masih relatif kecil. Tantangan yang mereka hadapi pun tidak ringan, mulai dari kondisi dapur yang panas dan menuntut stamina tinggi, hingga stereotip gender dan aspek biologis seperti kehamilan yang memengaruhi kontinuitas pekerjaan.
Meski demikian, temuan lapangan menunjukkan adanya perubahan positif. Industri kuliner modern, khususnya restoran inovatif dan hotel berbintang, kini mulai menerapkan standar operasional yang lebih adil dan transparan. Peluang perempuan untuk meniti karier di dapur profesional semakin terbuka, terutama dalam bidang yang mengutamakan ketelitian dan kreativitas seperti pastry, bakery, dan dekorasi makanan. Di bidang-bidang ini, perempuan justru sering unggul berkat ketekunan dan perhatian detail yang tinggi.
Hasil observasi menegaskan bahwa kemampuan, kompetensi, dan profesionalisme seharusnya menjadi ukuran utama dalam dunia kerja bukan jenis kelamin. Industri kuliner yang inklusif tidak hanya memberi kesempatan luas bagi perempuan, tetapi juga memperkaya ragam ide, inovasi, dan kreativitas yang hadir di dapur profesional.
Harapannya, budaya lama yang menganggap bahwa dapur profesional adalah “ranah laki-laki” perlahan memudar dan tergantikan oleh budaya kerja yang menghargai kontribusi setiap individu. Dengan kesetaraan gender yang semakin diperkuat, perempuan dapat bersaing secara setara, berkembang, dan memberikan kontribusi signifikan bagi dunia kuliner, baik di restoran besar seperti Bale Bebakaran maupun di berbagai institusi kuliner lainnya.
Foto kegiatan:


Fakultas Teknik Kampus Karangmalang, Yogyakarta, 55281
Copyright © 2025,